Menurut versi resmi, awalnya
keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden
Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat
sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal
presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau
"pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad
dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan
orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di
antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan
laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio
dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan
helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh
Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini
dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi
Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima
Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat
peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu
tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai
ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario
Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah
kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi
(AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni
Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir
Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari,
terjadi pembicaraan antara
tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang
terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto
mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat
tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk
mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan
Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno
setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang
ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Supersemar2
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta
pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh
Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan
penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telpon dari Mayjend
Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto
meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai
malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat
oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan
Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar itu tiba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar